qitab asmoro kondi

qitab asmoro kondi
qitab tauhid

ASMORO QONDI

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh… "HUKUM MINTA DIDOAKAN ORANG LAIN" “Ya Akhi…tolong doakan saya ya…doain saya moga sukses…” kata seorang ikhwan yang ingin
mengikuti ujian kepada temannya. Ada pula seseorang yang mengatakan kepada temannya, “Wahai saudaraku … doain ya … moga kampung kita senantiasa diberkahi oleh Allah”. Penggalan cerita di atas adalah fenomena yang sekarang ini banyak kita dapatkan di sekeliling kita. Seringkali seseorang meminta dari temannya untuk mendoakan kemaslahatan bagi dirinya atau bagi semua orang secara umum. Hal ini sebenarnya sebuah kewajaran, karena seseorang itu memiliki banyak kebutuhan, baik kebutuhan jasmani yang harus dia penuhi untuk melangsungkan hidupnya atau menyempurnakan hidupnya di dunia ini, atau kebutuhan yang bersifat rohani seperti ibadah yang di antaranya adalah berdoa kepada Allah. Namun, terkadang seseorang berlebihan dalam meminta doa dari orang lain, sehingga dia merendahkan dirinya sendiri, menganggap dirinya banyak berlumuran dosa sehingga tidak berani berdoa secara langsung kepada Allah, sehingga mendorong mereka untuk meminta temannya atau gurunya agar mendoakan kemaslahatan bagi dirinya yang menyebabkan dirinya bergantung kepada selain Allah, hingga hampir-hampir dia tidak pernah mendoakan dirinya sendiri atau malah menjadikan orang yang dimintai doa sombong dan takabur karena telah dipercaya oleh orang banyak untuk memberikan doa. Oleh karenanya, sudah seyogianya kita melihat fenomena ini dari kacamata hukum islam. Bagaimana islam memandang meminta doa dari orang lain. Apakah meminta doa dari orang lain itu disyariatkan? Apakah islam membolehkannya atau tidak? Syekh Shalih Ali Syekh menyatakan, “Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini (meminta doa dari orang lain) bahwa amalan ini tidak disyariatkan, artinya tidak diwajibkan, tidak pula disunnahkan”. (As’ilah wal Fawaid, Maktabah Syamilah) Lalu, apakah boleh meminta doa dari orang lain? Beliau (Syekh Shalih Ali Syekh) menyatakan, “Hukum asal meminta doa dari orang lain adalah makruh, sebagaimana riwayat dari para sahabat dan tabi’in yang membenci perbuatan ini, bahkan melarang orang yang meminta doa dari mereka”. Mungkin timbul pertanyaan, “Mengapa dimakruhkan? Bukankah banyak sekali riwayat yang menunjukkan bolehnya meminta doa dari orang lain, bahkan Nabi sendiri pun meminta doa dari orang lain?”. Memang benar ada beberapa hadits shahih, yang dhohirnya menunjukkan bolehnya meminta doa dari orang lain, sebagai contoh adalah hadits-hadits di bawah ini: 1. Umar meminta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menunaikan umrah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai saudaraku, sertakanlah kami dalam doa-doamu dan jangan lupakan kami.” (Riwayat Ahmad dan Tirmizi). Dalam hadits ini, secara jelas menunjukkan bolehnya meminta doa dari orang lain, bahkan sekalipun dari orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah kedudukannya, sebagaimana Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang kedudukannya lebih tinggi meminta doa dari umar yang lebih rendah kedudukannya. 2. Dalam hadits Ukasyah bin Muhshan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada sekelompok dari umatku sejumlah tujuh puluh ribu yang akan masuk surga dalam keadaan wajah-wajah mereka bersinar terang seperti terangnya sinar bulan purnama”, kemudian Ukasyah berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, doakan saya agar termasuk dari mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, jadikanlah Ukasyah dari mereka”. (Riwayat Muttafaqun ‘alaih). 3. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Shafyan bin Abdullah, beliau berkata, “Saat aku datang ke Syam, maka aku mendatangi Abu Darda’ di rumahnya, namun aku tidak mendapatinya, aku hanya mendapati istrinya, lalu istrinya berkata, “Apakah kamu ingin menunaikan haji tahun ini?”. Aku menjawab, “Ya, benar”, kemudian istrinya berkata lagi, “Doakanlah kebaikan bagi kami, karena sesungguhnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doanya seorang mukmin tanpa diketahui oleh orang yang didoakan adalah pasti terkabulkan, di samping kepalanya ada seorang malaikat yang diberi tugas untuk mengawasinya, jika dia berdoa kebaikan bagi saudaranya, maka malaikat akan mengaminkannya dan berkata, “Semoga Allah memberikan semisalnya kepadamu”. Tiga hadits di atas, jika dilihat dari zhahirnya, memang menunjukkan bolehnya meminta doa dari orang lain. Terus, mengapa dikatakan makruh???? Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan tiga sebab mengapa meminta doa dari orang lain dimakruhkan, yaitu: 1. Dalam permintaan seseorang kepada saudaranya agar mendoakan dirinya, terdapat bentuk meminta-minta kepada manusia. Sedangkan ketika Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dibaiat oleh para sahabatnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka, “Janganlah kalian meminta pada orang lain sedikit pun juga (syai’an)” Syai’an (sedikit pun) di sini adalah kata dalam bentuk nakirah. Dalam kalimat tadi, kata nakirah tersebut terletak dalam konteks nafi (peniadaan). Sehingga yang dimaksud sedikit pun di situ adalah umum (mencakup segala sesuatu), termasuk meminta doa kepada orang lain,pen-.” 2. Orang yang meminta doa dari orang lain, terkadang lahir dalam dirinya sikap memandang rendah dirinya sendiri dan berburuk sangka kepada dirinya hingga dia meminta doa kepada orang lain, padahal Allah berfirman, “Berdoalah kepada Rabb-mu, dengan merendah diri dan suara lembut (al-A’raf: 55).” Kemudian, sebagian orang jika meminta kepada saudaranya yang terlihat shalih untuk mendoakan dirinya, maka orang ini terkadang menyandarkan diri pada doa orang shalih tadi. Bahkan, sampai-sampai dia tidak pernah mendoakan dirinya sendiri (karena keseringan meminta pada orang lain). 3. Boleh jadi orang yang dimintakan doa tadi menjadi terperdaya dengan dirinya sendiri. Orang shalih ini bisa menganggap bahwa dirinya-lah yang pantas untuk memintakan doa. (Inilah bahaya yang ditimbulkan dari meminta doa pada orang lain). Selain tiga alasan tersebut, jika kita lihat keadaan para sahabat dan tabi’in, maka kita dapatkan mereka membenci bahkan melarang orang yang meminta kepadanya untuk didoakan. Diriwayatkan dari Hudzaifah dan Mu’adz, mereka berkata kepada orang yang meminta doa darinya sebagai wujud pengingkaran, “Apakah kami itu nabi?”. Demikian pula Imam Anas bin Malik, beliau saat dimintai doa, maka beliau melarangnya untuk meminta doa darinya, beliau khawatir jika orang-orang memandang beliau memiliki kedudukan lebih, beliau khawatir orang-orang yang bergantung kepadanya. Kapan meminta doa diperbolehkan?. Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjelaskan dengan gamblang dalam buku beliau “Qaidah Jalilah fit-Tawassul wal Wasilah”. Beliau menyatakan, “Apabila seseorang berkata kepada saudaranya, “Doakanlah saya atau kami”, kemudian dia mengharapkan agar saudaranya juga mendapatkan kebaikan dengan berbuat baik padamu atau dia ingin agar saudaranya juga mendapatkan manfaat karena telah mendoakanmu dalam keadaan dirimu tidak mengetahuinya, maka dia telah meneladani Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam meminta doa dari orang lain. Namun, apabila dia hanya menginginkan semata-mata kemanfaatan pada dirinya sendiri saja, maka dia tidak meneladani nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam meminta doa dari orang lain”. Dari penjelasan Syekh Ibnu Taimiyah, bisa kita tarik kesimpulan, bahwa meminta doa dari orang lain itu boleh, ketika seseorang meminta doa orang lain itu berniat agar saudaranya juga mendapatkan manfaat, yaitu manfaat karena diaminkan oleh malaikat dan mendapatkan kebaikan yang semisal atau manfaat yang ditimbulkan oleh umumnya lafadz doa, seperti permintaan seseorang dari orang lain untuk mendoakan kampung mereka diberkahi oleh Allah. • Adapun tiga hadits yang terdahulu, maka diartikan bahwa mereka meminta doa dari orang lain, bukan semata-mata untuk kebaikan dirinya sendiri, akan tetapi, mereka mengharapkan orang lain yang dia minta doa darinya mendapatkan manfaat juga. • Adapun mengenai kisah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu yang meminta pada Uwais Al Qarni untuk mendoakan dirinya, maka ini adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini adalah khusus untuk Uwais saja, bukan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak pernah diketahui bahwa sahabat lain meminta pada Umar untuk mendoakan dirinya atau meminta pada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, berdoalah pada Allah untuk kami.” Padahal Abu Bakar lebih utama daripada Umar dan lebih utama daripada Uwais, bahkan lebih utama dari sahabat lainnya. Jadi permintaan Umar pada Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memotivasi para sahabat, siapa saja yang bertemu Uwais, maka katakanlah padanya, “Wahai Uwais, berdoalah pada Allah untukku.” Kisah Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais saja, tidak boleh dipukul rata pada yang lainnya. Wallahu a’lam. (PENULIS: UST. AGUS ABU AUFA, LC) ooOoo DOA DAN HARAPAN Diri kita ini lemah, dan setiap yang lemah pasti membutuhkan pertolongan. Namun tidak semua pertolongan dapat diharapkan, kecuali pertolongan yang dimohonkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana janji Allah dalam Surat Al-Mu'minun ayat 60, "Dan Tuhanmu berfirman, 'Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina". Rosulullah pun pernah bersabda : "Barangsiapa yang diberi ijin berdoa dari kalian, niscaya dibukakan pintu-pintu rahmat kepada-Nya. Dan tidak dimintakan kepada Allah sedikitpun akan sesuatu yang lebih disenangi-Nya daripada dimintai ampunan dan afiat (kesehatan) di dunia dan akherat". Jadi, meskipun doa itu tidak dapat menolak takdir Allah, namun doa dapat berguna sebagai penangkis bencana yang telah ditakdirkan Allah, sebagaimana tertangkisnya serangan musuh oleh benteng yang kuat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, "Maka hendaklah mereka siapkan pengawasan dan alat senjata mereka" (Surat An-Nisa' ayat 101). Di dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti sholat adalah doa, dimana mulai mengucapkan takbiratul ihram (Allahu Akbar) dengan mengharapkan kepada Allah, diri kita mengakui betapa kecilnya dihadapan Kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan seluruh alam inipun ditunjukkanlah kepada Yang Maha Besar, Maha Agung, Maha Esa, tidak ada yang lain melainkan Allah satu-satunya kita memohon segala-galanya, sampai-sampai para malaikat mendoakan kepada manusia agar diberikan ampunan, diselamatkan dari siksa neraka dan dipelihara keimanannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Mu’min ayat 60, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenan bagimu”. Dalam kaitan doa tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan kembali dala Surat Al-Baqarah ayat 186, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. Berdasarkan ayat-ayat di atas, telah terbukti bahwa doa-doa para Nabi sungguh mustajab, sehingga sengaja dipilihkan doa-doa para Nabi yang dinukilkan dari Al-Qur’an. Bertebaranlah doa dari Nabi –nabi dan Rosul-rosul Allah, yaitu Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi-nabi yang lain serta Nabi Muhammad sendiri. Berdoa menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai nilai yang sangat besar, lebih-lebih bila dapat difahami dan diresapi artinya. Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menegaskan, “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an, kelak ditempatkan dalam syurga bersama para Rosul yang mulia dan baik, sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dan ia belum lancar, lidahnya terasa berat, baginya dua pahala”. Dalam hal ini, doa-doa dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dipilih agar dapat difahami terlebih dahulu yaitu artinya, yang kemudian dihafalkan dengan ayat-ayat yang dapat dibaca sendiri (maksudnya memahami artinya terlebih dahulu karena pada umumnya orang belumlah lancar dan lidahnya terasa berat untuk menghafalkan ayat-ayat dimaksud). Para malaikat pun berdoa kepada kaum muslimin sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, yaitu : “Robbanaa wasi’ta kulla syai irrahmatau wa’ilman faghfir lilladziina taabuu wattaba’uu sabila ka waqihim ‘adzaabl jahiim”“Robbanaa wa adkhilhum jannaati ‘adninil latii wa’attahum waman salaha min aabaa ihim wa az waajihim wadzurriyyaatihim, innaka antal ‘aziizul hakiim” “Waqihimus sayyiaat, waman taqis sayyiaati yauma idzin faqod rohimtah, wadzaalika huwal fauzul ‘adziim” (Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksa neraka yang menyala-nyala” “Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam syurga ‘Aden yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang sholeh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” “Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar” (Al-Mu’minuun ayat 7-9). Setiap orang yang menghadiri pernikahan juga selalu mendoakan kepada kedua mempelai, dengan doanya, “Baarakallaahu laka wa baaraka ‘alaika wa jama’a bainakumaa fii khoirin” (Semoga Allah memberkahi kamu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan diantara kamu berdua dalam kebaikan). Bagaimana orang-orang yang bersama-sama beristi’anah dan beristighosah memanjatkan doa? Isti’anah artinya meminta pertolongan dan dukungan dalam suatu urusan, sedangkan Istighotsah berarti meminta dihilangkannya kesulitan (kesukaran). Isti’anah dan Istighotsah kepada makhluk ada dua macam : 1. Isti’anah dan Istighotsah kepada makhluk yang ia mampu melakukannya. Ini diperkenankan berdasarkan firman Allah, “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” (Al-Ma’idah ayat 2). Dalam kisah Musa ‘alaihis salam, Allah berfirman, “Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya” (Al-Qashash ayat 15). Juga seperti seseorang yang meminta bantuan kawan-kawannya dalam peperangan atau lainnya dari hal-hal yang bisa dilakukan oleh makhluk. 2. Isti’anah dan Istighotsah kepada makhluk dalam hal yang manusia tidak mampu kecuali Allah, sebagaimana isti’anah dan istighotsah kepada orang-orang yang sudah meninggal atau isti’anah dan istighotsah terhadap orang dalam hal yang ia tidak mampu kecuali Allah, misalnya dalam penyembuhan penyakit, menghilangkan kesusahan dan menolak bahaya. Isti’anah dan Istighotsah seperti ini tidak diperkenankan bahkan termasuk syirik besar. Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ada seorang munafik yang menyakiti kaum mukminin, maka sebagian sahabat mengatakan : “Bangkitlah bersama kami untuk ber-istighatsah kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari orang munafik ini”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya istighatsah itu tidak (boleh dimintakan) kepadaku, tetapi istighatsah itu kepada Allah” (HR Ath-Thabrani). Jika dalam perkara yang bisa dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hidupnya itu dijawab demikian, maka bagaimana pula dengan istighatsah kepada beliau setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu kecuali Allah? Dan jika hal tersebut tidak diperkenankan dilakukan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu orang lain lebih tidak pantas lagi. Banyak orang yang mengeluh doanya masih belum dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal setiap pagi dan malam mereka menadahkan tangan bermohon kepada Ilahi, namun apa yang dimintanya tidak kunjung datang. Kenapa belum dikabulkan? Apa penyebabnya? Pada hakekatnya, sebab-sebab belum dikabulkan suatu doa itu terletak pada si pemohon sendiri. Apakah doanya sering memohonkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala telah sesuai dengan kehendak-Nya? Perlu diketahui bahwa syarat yang penting agar dikabulkan doa oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dilakukan dengan hati (bukan dengan mulut). Tidak ada gunanya mulut komat-kamit kalau hatinya menerawang ke alam lain, jiwa tidak terkonsentrasi menghadap Ilahi. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 186, memerintahkan agar pemeluk agama Islam supaya sering-sering memohonkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati yang tulus ikhlas, keyakinan yang bulat dan kesucian hidup. Demikian pula berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad, menyatakan bahwa salah satu diantara doa yang sering beliau ucapkan adalah "Ya Allah...Aku berlindung kepada Engkau dari hati yang tidak khusyu', dari nafsu yang tidak merasa kenyang, dari ilmu yang tidak memberi manfaat, dan dari doa yang tidak dikabulkan" Dari hadist tersebut dapat dirumuskan bahwa ada empat pokok persoalan yang selalu dimohonkan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu : (1) Hati yang khusyu', (2) Nafsu yang terkendali, (3) Ilmu yang mendatangkan manfaat, (4) Doa yang dikabulkan. Salah seorang ulama sufy bernama Ibrahim bin Adham (hidup pada abad ke 8 Masehi) memberikan jawaban sebab-sebab doa tidak dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ada sepuluh macam, yaitu : 1. Kamu tidak membayarkan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk disembah. Setiap hamba harus mensyukuri nikmat yang dilimpahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya dengan jalan menyembah-Nya (ta'abbudi). Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala memperkenankan doa seorang hamba, bila Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan supaya ia berjalan ke kanan, tetapi masih ditempuhnya jalan ke kiri?. 2. Kamu tidak mengamalkan isi Al-Qur'an. Kitab suci Al-Qur'an senantiasa dibaca (bahkan dilagukan), namun isinya tidak dipelajari sehingga tidak bisa menghayatinya. Kalaupun ada satu dua ayat yang dapat dimengerti tidak diamalkan, bahkan kadang-kadang sengaja dilanggar. 3. Kamu tidak menjalankan sunnah rosulullah. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan jalan yang lurus, tapi tidak sedikit jumlahnya manusia yang memilih jalan berkelok-kelok. Kadang, ada pula yang katanya mengikuti sunnah rosul, mengamalkannya tapi tidak dikerjakan, tidak dilakukan sesuai yang dikerjakan rosulullah (nota bene melakukan bid'ah). Orang yang mengerjakan perbuatan bid'ah, tidak ubahnya peribahasa "arang habis, besi binasa"...tidak mendatangkan keuntungan (hanya memperoleh kerugian atau dosa semata). 4. Kamu patuh kepada syaitan. Syaitan adalah musuh bebuyutan manusia yg selalu berusaha menjatuhkan Bani Adam ke lembah kenistaan, dengan jalan mempengaruhi hawa nafsu manusia yang jelek. Dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan manusia berlutut kepada syaitan dengan memperturutkan hawa nafsu dan dengan sikapnya itu dia telah menguasai syaitan. 5. Kamu menerjunkan diri ke jurang. Maksudnya, kebanyakan manusia ingin memasuki pintu kebahagiaan, namun dia sendiri mengunci pintu itu, artinya dia tidak mau mengerjakan yang ma'ruf tapi selalu bergelimang dengan perbuatan dosa dan maksiat. 6. Ingin masuk sorga tapi tidak beramal. Orang yang seperti ini tidak ubahnya laksana seorang yang ingin kaya tapi tidak berusaha, malah bermalas-malasan. Mau menang, tapi tidak berjuang, mau pinter tapi malas belajar. 7. Sadar akan mati, tapi tidak mempersiapkan diri. Artinya mengakui dan insaf bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, sedangkan hidup yang abadi di akherat kelak. Namun demikian, mereka tidak mengerjakan amal shalih yang akan menjadikan anak kunci membuka pintu kehidupan yang abadi itu. 8. Kamu melihat cacat orang lain, cacat sendiri tak tampak. Peribahasa mengatakan bahwa "Ketam di seberang lautan kelihatan, tapi gajah di pelupuk mata sendiri tidak tampak". Orang semacam ini selalu "menuding-nuding" orang lain, tapi amat jarang menghadapkan telunjuknya ke belakang (menunjuk dadanya sendiri). 9. Kamu mengecap nikmat, tapi tidak bersyukur. Artinya, sejak kecil manusia diberikan nikmat Ilahi tapi tidak berterimakasih. Bahkan sering membangkang dengan menunjukkan kecongkakannya dan lupa daratan. 10. Kamu menguburkan jenazah, tapi tidak menyadari diri. Bila ada orang yang meninggal dunia selalu tidak ketinggalan turut mengantar jenazah itu sampai ke pemakaman. Tapi tidak menarik pelajaran dari kejadian itu, bahwa apabila hari ini kita turut mengantar orang ke pemakaman, mungkin besok atau lusa kita sendiri yang akan diantar orang ke pemakaman. Dalam hubungan ini, diriwayatkan bahwa Abu Bakar Siddiq apabila turut mengantarkan jenazah, beliau menangis sampai air matanya jatuh ke jenggotnya karena menyadari bahwa beliau sendiri akan mengalami dimakamkan. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Mengampuni dosa, Maha menerima taubat bagi keras siksa-Nya, dan Yang mempunyai karunia. Tiada ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah tempat kembali (semua makhluk). Aku bersaksi bahwa tiada ilah, kecuali Allah, Dzat yang mengijabah doa orang yang dalam kesulitan bila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Ashashoodiqul Amiin yang telah bersabda : 1. Dari Ibnu ‘Umar bahwasanya Rosulullah bersabda, “Doa akan bermanfaat, baik terhadap bencana yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Karenanya, wahai para hamba Allah, hendaklah kalian selalu berdoa” (HR Tirmidzi dan Hakim). 2. Dari ‘Aisyah bahwasanya Rosulullah pernah bersabda, “Bersikap waspada tidaklah akan bisa menghindarkan seseorang dari qadar, sedang doa akan bermanfaat, baik terhadap bencana yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Sungguh, ada kalanya bencana yang sudah hendak turun berpapasan dengan doa, lalu keduanya saling berbenturan sampai hari kiamat tiba” (HR Hakim). 3. Dari Tsauban bahwasanya Rosulullah pernah bersabda, “Tiada yang bisa menolak qadar, kecuali doa” (HR Ibnu Majah, Ahmad dan Hakim). Oleh karena itu, doa termasuk obat yang paling mujarab. Doa merupakan sesuatu yang akan mampu menghindarkan dan mencegah turunnya bencana atau meringankan bencana manakala sudah terjadi. Sebagai bentuk upaya dalam rangka memberikan manfaat kepada kaum muslimin. Hanya kepada Allah sajalah kita memohon agar kiranya Dia berkenan menjadikan amal yang diperbuat dengan ikhlas semata-mata mengharap keridhoan-Nya. Seseorang yang hendak memanjatkan doa kepada Allah, hendaklah memperhatikan beberapa adab, yaitu : 1. Bersungguh-sungguh dan tanpa ragu dalam berdoa. Dari Abu Hurairah bahwasanya Rosulullah bersabda, “Janganlah sekali-kali seseorang dari kalian berdoa : Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau mau. Ya Allah, rahmatilah aku jika Engkau mau. Hendaklah bersungguh-sungguh dan tanpa ragu dalam berdoa, karena tidak ada seorang pun yang bisa menekan Dia” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Abu Dawud). Dari Anas bahwasanya Rosulullah bersabda, “Jika seseorang dari kalian berdoa, hendaklah bersungguh-sungguh dalam memohon dan janganlah sekali-kali berucap : Ya Allah, jika Engkau mau, kabulkanlah doaku, sebab tak ada seorang pun yang bisa menekan Dia (untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu)” (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad). 2. Mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu dan berisyarat dengan jari ketika memohon ampun. Dari Ibnu ‘Abbas yang ia marfu’kan, ia berkata, “Yang dilakukan sewaktu mengajukan permohonan adalah engkau mengangkat kedua tanganmu sejajar dengan kedua bahumu atau yang sepadan dengannya. Yang dilakukan sewaktu memohonan ampunan adalah engkau member isyarat dengan satu jari. Dan yang dilakukan sewaktu memanjatkan doa yang teramat sungguh-sungguh adalah engkau mengangkat kedua tanganmu hingga sampai ketiak”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika memanjatkan doa yang teramat sungguh-sungguh, Ibnu ‘Abbas mengangkat kedua tangannya hingga punggung telapak tangannya berada di dekat mukanya” (HR Abu Dawud). 3. Memposisikan telapak tangan di atas saat meminta dan memposisikan telapak tangan di bawah saaat memohon perlindungan. Dari Khallad bin Sa’ib Al-Anshari bahwasanya Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam jika meminta, beliau mengangkat tangannya seraya memposisikan telapak tangannya di atas, dan jika memohon perlindungan, beliau memposisikan punggung telapak tangannya di atas” (HR Ahmad). 4. Berdoa dengan suara lirih, yaitu dengan suara antara diam dan bersuara). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” (Al-‘Araf ayat 205). Dari Abu Musa berkata, kami pernah safar bersama Rosulullah. Sewaktu berada di tempat yang tinggi kami bertakbir. Rosulullah lalu bersabda, “Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian sewaktu berdoa, sebab kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tuli dan bukan pula kepada Dzat yang jauh, melainkan kalian berdoa kepada Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. Selanjutnya, beliau mendekatiku yang saat itu aku tengah membaca “Laa haula wa laa quwwata illaa billaah” dalam hatiku, lalu beliau bersabda, “Wahai ‘Abdullah bin Qais, ucapkanlah ! Laa haula wa laa quwwata illaa billaah, sebab kalimat ini merupakan salah satu harta simpanan di syurga” atau beliau bersabda, “Mukah aku tunjukkan kepadamu satu kalimat yang merupakan salah satu simpanan di syurga, yakni Laa haula wa laa quwwata illaa billaah” (HR Bukhari dan Muslim). Dari Abu Musa bahwasanya Rosulullah bersabda, “Dzat yang kalian berdoa kepada-Nya adalah lebih dekat kepada kalian daripada dekatnya leher hewan tunggangan kalian (kepada penunggangnya)” (HR Muslim). 5. Memanjatkan puji-pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sebelum mengutamakan inti doa. Dianjurkan berbuat demikian karena kita berdoa kepada Allah sehubungan dengan memohon karunia, rahmat dan ampunan-Nya, sehingga afdhalnya memanjatkan pujian dan sanjungan yang memang sudah selayaknya dipanjatkan kepada-Nya. Dari Fadhalah bin Ubaid bahwasanya dikala Rosulullah sedang duduk (di masjid), tiba-tiba datang seseorang, lalu sholat. Setelah selesai sholat, orang tersebut langsung berdoa : “Allaahummaghfir lii warhamnii” (Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku). Rosulullah pun bersabda, “Wahai orang yang baru saja sholat, engkau telah melakukan ketergesa-gesaan. Jika engkau telah selesai sholat, lalu duduk, maka panjatkanlah puji-pujian kepada Allah sebagaimana mestinya, lalu bersholawatlah kepadaku. Setelah itu, barulah engkau berdoa”. Setelah itu, datang lagi orang lain. Setelah selesai sholat, orang tersebut memanjatkan puji-pujian kepada Allah dan bersholawat kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rosulullah bersabda, “Wahai orang yang baru saja sholat, berdoalah engkau sekarang, niscaya doamu akan dikabulkan” (HR Tirmidzi, Thabrani dan Nasa’i). Dari Mu’adz bin Jabal bahwasanya Rosulullah pernah mendengar seseorang berkata (sebelum berdoa) : “Yaa dzal jalaali wal ikhroom” (Wahai Dzat pemilik keagungan dan kemuliaan). Beliaupun bersabda kepadanya, “Sungguh doamu akan dijabah. Silahkan engkau berdoa” (HR Tirmidzi dan Thabrani). 6. Berhusnuzhzhan kepada Allah. Berbaik sangkalah kepada Allah dan yakin akan dikabulkannya doa, baik dalam waktu dekat maupun ditunda terlebih dahulu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan bila para hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku….”(Al-Baqarah ayat 186). “Tuhan kalian berfirman, : Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan doa kalian” (Ghaafir ayat 60). Dari Abu Hurairah bahwasanya Rosulullah bersabda, “Berdoalah kalian kepada Allah dengan merasa yakin bahwa doa kalian akan diijabah” (HR Tirmidzi, Hakim, Thabrani dan Ahmad). 7. Mengakui dosa-dosa yang dilakukan. Mengakui dosa-dosa dan kesalahan yang telah diperbuat pada saat bersimpuh di hadapan-Nya merupakan bentuk ubudiyyah yang sempurna kepada Allah. Dari ‘Ali bin Rabi’ah bahwasanya Rosulullah bersabda, “Sungguh Allah amat senang kepada hamba-Nya jika hamba tersebut mengucapkan : Laa ilaaha illaa anta. Innii qod zholamtu nafsii faghfir lii dzunuubii innahuu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta (Tiada ilah yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali Engkau. Sungguh, aku telah menzhalimi diriku sendiri. Karenanya, ampunilah semua dosaku, sebab tiada yang bisa mengampuni dosa kecuali hanya Engkau). Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu berfirman, ‘Hambaku tahu bahwa dirinya memiliki Rabb yang bisa mengampuni dan bisa menyiksa” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad dan Hakim). 8. Hendaklah memulai doanya untuk dirinya sendiri. Hal ini didasarkan pada doa yang tercantum dalam Surat Al-Hasyr ayat 10, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami…..” 9. Berdoa dengan jawami’ul kalam. Maksudnya dengan kalimat yang singkat namun sarat maknanya, ringkas tapi mencakup arti yang luas sebagaimana yang telah diajarkan Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau dikaruniai jawami’ul kalam dan ahli dalam merangkai kata-kata yang penuh makna serta semua kata-kata yang keluar dari kedua bibir beliau seakan-akan diseleksi sehingga orang yang mendengarnya dapat mencerna dengan mudah. Dari ‘Aisyah bahwasanya “adalah Rosulullah senang menggunakan kata-kata yang singkat tapi padat dalam berdoa dan beliau meninggalkan yang selain itu” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim dan Thayalisi). (MM 09052011) ooOoo JANGAN SALAH BERDOA Saya memiliki sahabat yang sangat beruntung. Tidak hanya kuliah di luar negeri, tetapi juga mendapat kesempatan bermukim di dua kota suci yang menjadi idaman banyak orang Islam. Selama empat tahun belajar di Madinah, dia dapat sepuasnya sholat di Masjid Nabawi, bahkan tidak terhitung sholat di Raudhah, satu taman syurga di dunia ini. Begitu juga setelah bermukim di Makkah, dia dapat melaksanakan sholat berjamaah lima waktu, kecuali Ashar karena lebih banyak dilaksanakan di kampus. Setiap habis sholat, dia tidak pernah lupa berdoa. Yang paling sering dia minta dalam doanya adalah semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan jalan baginya menghajikan kedua orang tuanya. Tatkala melepas kepergiannya du ke Tanah Suci, sang ibu berkata dengan suara lirih, “Nak, apakah ibu suatu saat mungkin sampai ke Tanah Suci itu, mencium Hajar Aswad dan berdoa di Multazam?”. Setiap kali ingat pertanyaan ibunya itu, dia semakin khusyu’ berdoa agar Allah memperkenankan doanya. Alhamdulillah, doa sahabat saya terkabul. Dari hasil menyisihkan beasiswa setiap bulan, dan nyambi bisnis kecil-kecilan pada musim haji, dia dapat menghajikan kedua orang tuanya. Tidak henti-henti dia mensyukuri nikmat Allah yang tak terhingga itu. Sekarang musim haji sudah berlalu, kedua orang tuanya sudah kembali ke Tanah Air, sahabat saya konsentrasi menghadapi ujian yang sangat menentukan. Semester ini, sahabat saya hanya mengambil satu mata kuliah. Jika satu mata kuliah ini tidak lulus juga, dia masih diberi kesempatan untuk menempuh ujian sekali lagi. Jika tidak lulus, dia akan di droup out (DO). Dia optimis lulus, karena satu semester ini hanya belajar satu mata kuliah. Semua buku wajib dan juga yang dianjurkan professor sudah dipelajarinya. Tetapi sayang, setelah nilai diumumkan, dia tetap tidak lulus. Akhirnya, dia belajar lagi untuk persiapan ujian ulangan sebulan lagi. Ini ujian yang menetukan nasibnya, terus kuliah apa pulang kampong. Profesor mata kuliah itu sudah didatanginya, memohon pengertian. Dengan dingin sang professor menjawab, “Biasa, ujian itu ada yang lulus dan ada yang tidak”. Apa yang dia khawatirkan itu, terjadi juga, dia tetap tidak lulus dan akhirnya apa boleh buat, dia di DO. Sebelum meninggalkan kota Makkah, sahabat saya itu mencoba mengingat-ingat apa kesalahannya, mengapa sampai di DO. Tiba-tiba dia ingat, suatu hari pernah berdoa di Multazam dengan penuh kekhusyu’an, “Ya Allah, izinkan aku menghajikan kedua orang tuaku. Ku mohon ya Allah, asal aku dapat menghajikan kedua orang tuaku, kuliahku DO juga tidak apa-apa ya Allah”. Sahabat saya sadar, dia telah salah berdoa. Akhirnya, dia berdoa lagi dengan sepenuh hati di Multazam, memohon ampun atas kesalahannya dalam berdoa. Yan seharusnya dia meminta kedua-duanya, dapat menghajikan kedua orang tua dan lulus ujian dengan nilai baik. Setelah memperbaiki doanya, dia coba lagi melamar strata dua di universitas lain di Arab Saudi. Alhamdulillah, dengan karunia dan izin Allah, dia diterima lagi kuliah S2 di kampus lain. Sekarang sahabat saya itu sudah menyelesaikan pendidikan doktornya dan berkiprah di Tanah Air. Itulah pelajaran dari sahabat saya, jangan salah berdoa memohon kepada Allah. OLEH : PROF. DR. YUNAHAR ILYAS (HARIAN REPUBLIKA) ooOoo DOA BERSAMA LINTAS AGAMA Akhir-akhir ini sering kita mendengar diselenggarakannya doa bersama, yaitu doa yang dilakukan secara bersama-sama dalam satu majelis oleh para tokoh dari berbagai agama, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Bagaimana hukumnya melakukan doa bersama tersebut menurut agama Islam? Pluralisme sekarang ini sekan-akan telah menjadi sebuah mantra, dimana dengan mengusung symbol-simbol, seseorang dapat mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi. Adanya doa lintas agama dalam menyingkapi suatu peristiwa musibah yang menimpa suatu daerah sampai dengan rapat-rapat politik dan kenegaraan terdengar doa bersama sebagai symbol adanya kerukunan antar umat beragama. Timbul pertanyaan, apakah boleh umat Islam melakukan doa bersama dengan pengikut agama lain?. Doa itu bukan hubungan antar manusia, tapi antara manusia dengan Sang Pencipta. Rosulullah bersabda, “Doa adalah otak (inti) ibadah” (HR Tirmizi). Secara garis besar, para ulama berpendapat mengenai boleh tidaknya doa bersama dilakukan oleh kaum muslimin ada tiga, yaitu : Pertama, dilarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “..Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka” (Al-Ghafir ayat 50). “Atau siapakan yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)?. Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)” (Al-Naml ayat 62). Dalam “Hasyiyah al-Jamal juz II”, secara tegas umat Islam dilarang mengamini oda orang kafir karena doanya tidak diterima sesuai dengan ayat 50 Surah Al-Ghafir. Begitu juga dalam “Bugni al Mantaj, juz I” intinya sama yaitu tidak boleh mengamini doa orang non muslim dengan alas an doanya ditolak. “Tidak boleh mengamini doa mereka (orang kafir) sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Rawyani karena doa mereka tidak akan diterima”. Kedua, bersifat makruh. Hukum makruh ini apabila doa bersama tersebut dilakukan dalam mushola atau masjid. Apalagi berkumpulnya para pengikut agama tersebut dipandang hanya sekedar untuk berkumpul tanpa ada tujuan yang positif. “Orang kafir baik ahli dzimmi atau yang lain, tidak diperbolehkan menjadi satu majelis peribadatan kita, demikian halnya ketika kita keluar. Percampuran tersebut makruh, dan mereka harus membedakan pada tempat yang berbeda” (Mughni al-Muhtaj, juz I). Ketiga, membolehkan doa bersama lintas agama. Bahkan pendapat ini membolehkan mengamini dan memimpin doa bersama kaum non muslim. Kelompok ini memandang sebagai sunah apabila acaranya tidak bertentangan dengan syariat Islam dan isi doanya memohon hidayah, pertolongan dan menjalin hubungan baik di dunia (kerukunan antar umat beragama) serta bermanfaat demi kemaslahatan umat bahkan untuk mencegah timbulnya sesuai mudharat yang tidak diinginkan. Mensikapi masalah doa bersama antara pemeluk agama sebagai tersebut di atas, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya telah mengeluarkan Fatwa pada tanggal 17 Juni 2009, yang intinya, MUI mengatakan bahwa doa adalah ibadah. Dan, doa bersama kaum non muslim tidak dikenal dalam ajaran Islam dan menyatakan itu adalah bid’ah atau menambah-nambah ketentuan agama. Fatwa ini dibuat oleh MUI karena banyak di sejumlah acara resmi kemasyarakatan maupun kenegaraan terkadang dilakukan doa oleh umat Islam Indonesia dalam bentuk doa bersama dengan penganut agama lain pada satu tempat yang sama. Kejadian ini menurut MUI menimbulkan pertanyaan dari masyarakat sehingga MUI perlu mengeluarkan fatwa untuk dijadikan pedoman. Fatwa MUI adalah : 1. Doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non muslim tidak dikenal dalam Islam. Oleh karenanya, termasuk bid’ah. 2. Doa bersama dalam bentuk “setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran”, maka orang Islam HARAM mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin oleh non muslim. 3. Doa bersama dalam bentuk “muslim dan non muslim berdoa secara serentak” (membaca teks doa bersama-sama) hukumnya HARAM. 4. Doa bersama dalam bentuk “seorang non Islam memimpin doa”, maka orang Islam HARAM mengikuti dan mengamininya. 5. Doa bersama dalam bentuk “seorang tokoh Islam memimpin doa”, hukumnya MUBAH. 6. Doa dalam bentuk “setiap orang berdoa menurut agamanya masing-masing”, hukumnya MUBAH. (SYAMSUL MAHMUDDIN-MAJALAH FORUM KEADILAN) Demikian yang, dapat disampaikan, semoga bermanfaat…amiin. Bilahit taufik wal hidayah, wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh (MM 13072011)

0 komentar:

Posting Komentar

 

pusaka empuh gandring Design by Insight © 2009